Anda kaget? Normal. Karena lazimnya sholat Jumat memang wajib dilakukan oleh seorang muslim (laki-laki). Tapi itulah yang diperdebatkan dalam tulisan ini. Benarkah sholat Jumat itu wajib? Silahkan anda simak perdebatan seru berikut ini.
A: Ayo, kita pergi sholat Jumat!
B: Kamu duluan saja. Nanti saya menyusul.
A: Ha ha.. nyusul? Sudah jam berapa ini!
B: (Diam sambil tersenyum)
A: Kenapa ya kamu tidak mau pergi?
B: Saya lagi kurang mood.
A: Ha ha! Kurang mood? Memang ada istilah kurang mood untuk sholat Jumat. Bukankah sholat Jumat itu wajib hukumnya bagi laki-laki Muslim?
B: Itu tergantung penafsiran.
A: Tergantung penafsiran? Setahu saya sholat Jumat itu hukumnya jelas, pasti. Belum pernah saya mendengar pengajian bahwa sholat Jumat itu hukumnya sunat. Entah kalau ada pengajian baru yang mengatakan sholat Jumat itu tidak wajib. Siapa tahu ada hadis baru yang mengatakan begitu. Kalau ada saya jadi tertarik...
B: Nanti di mesjid kita juga tidur. Tempat istirahat. Kalau ada yang mengidap imsomnia atau susah tidur, pergi saja sholat Jumat. Biasanya baru saja khatib berkotbah ia sudah langsung menguap.
A: Berarti niatnya ke mesjid tidak benar. Kalau niatnya benar pasti matanya akan terbuka. Tapi kita kadang-kadang pergi sholat Jumat tidak sungguh-sungguh, hanya sekedar memenuhi kewajiban. Cobalah sekali-sekali sholat Jumat itu betul-betul diniatkan, lalu dipersiapkan sebaik-baiknya. Mandi bersih-bersih. Bila perlu pakai parfum. Nabi suka parfum kan. Ada itu hadisnya. Bahkan ada hadis yang menceritakan tentang seorang sahabat Nabi yang diampuni dosa-dosanya dan masuk sorga gara-gara dia selalu menjaga sholat Jumatnya.
B: Itu kan kisah-kisah untuk motivasi.
A: Itu bukan kisah, itu hadist lho!
B: Iya, hadist. Tapi dalam hadist itu kan juga banyak berisi kisah-kisah.
A: Hadis itu kan segala perbuatan dan perkataan Nabi. Bukan cerita-cerita yang dikarang-karang Nabi. Apa yang belum jelas dalam Alquran dijelaskan dalam hadist. Misalnya tentang sholat. Bagaimana cara-cara sholat dijelaskan dalam hadis Nabi. Jadi hadist itu bukan kisah-kisah. Kalau kisah itu biasanya dari sahabat-sahabat Nabi dan para ulama.
B: Ya betul. Tapi tidak semua hadis itu persis kejadian yang dialami Nabi. Banyak juga hadis-hadis itu yang isinya, maaf saja, isinya itu agak janggal.
A: Janggal maksudnya?
B: Kurang masuk akallah. Misalnya saja ada hadis yang mengatakan bahwa seorang isteri harus lebih patuh pada suaminya dari pada kepada orang tuanya sendiri, sehingga diceritakan pernah seorang isteri masuk sorga gara-gara sangat patuh pada suaminya. Ingatkan kisah seorang isteri yang orang tuanya sedang sakit itu. Dia tidak mau menjenguk ibunya gara-gara suaminya tidak ada di rumah. Sampai akhirnya ibunya itu meninggal. Pada hal orang tuanya sendiri sedang sakarat. Mau meninggal! Itu dinilai sebagai pahala yang sangat tinggi karena dia sangat patuh pada suaminya.
Menurut saya itu kurang masuk akal. Masak orang tua akan meninggal harus ditunggu dulu suami pulang baru kemudian dia boleh keluar rumah. Kecuali kalau dia mau pergi untuk hal-hal yang tidak karuan, okelah. Jadi itu kesannya kan sangat birokratis. Apakah itu namanya tidak menunjukkan egoisme laki-laki? Kalau bagi saya, untuk hal-hal yang kritis seperti itu tidak masalah isteri saya langsung pergi. Justru saya marah kalau dia tidak pergi walaupun saya tidak ada di rumah. Jangankan untuk melihat orang tua yang sedang sakit, untuk kegiatan-kegiatan sosial saja misalnya, kalau menurut dia memang harus pergi bagi saya tidak masalah. Pergi arisan misalnya.
A: Ya sebenarnya begitulah Islam menjaga martabat wanita. Sekarang kan wanita sudah tidak mengahargai suaminya. Dia mau kemana sekarang sudah seenaknya. Kadang-kadang urusan dapur saja belum selesai dia sudah keluyuran ke rumah tetangga dan sebagainya.
B: Waah... itu sudah lain. Tadi kan temanya dalam kondisi kritis. Kita kan bisa menilai. Artinya kalau hadis itu mau kita terima, maknanya harus dipahami secara simbolik. Bukan harfiah. Artinya begitulah seorang isteri hendaknya menghargai suaminya. Bukan harus dilakukan secara harfiah seperti kisah itu. Makanya saya katakan hadis itu kadang-kadang penuh dengan kisah-kisah simbolik. Kebenaran isi ceritanya belum tentu, dilihat dulu situasinya.
A: Kalau hadisnya dari Bukhari Muslim itu sahih.
B: Tidak juga. Ada juga hadis Bukhari dan Muslim itu yang tidak sahih.
A: Dalam Islam kan sudah diakui hadis Bukhari Muslim itu sahih?
B: Siapa yang mengakui. Pengakuan itu kan kesepakatan para ulama. Bukan Nabi. Para sarjanalah kalau diibaratkan dengan zaman kita sekarang ini. Para perawi dan pembuat buku hadis itu kan para sarjana. Sarjana Islam. Tapi istilahnya saja yang berbeda. Umat Islam menyebutnya ulama, Imam. Mereka-mereka itu ibaratnya sama dengan para peneliti. Peneliti hadis. Ia kumpulkan dari berita-berita, dari mulut ke mulut lalu dikumpulkan, disusun, dikelompokkan. Lalu terbitlah buku-buku hadis. Atau kitab-kitab hadis dalam istilah Islam. Kitab itu artinya kan buku, bahasa Arab. Mereka beri nama bukunya dengan Sahih Muslim, Sahih Bukhari. Bukan berarti semua isinya sahih. Cuma berdasarkan kesepakatan para ulama di zaman itu mengakui bahwa hadis mereka yang berdua inilah yang paling banyak hadis sahih di dalamnya. Samalah dengan ujian kompre, atau ujian skripsi kalau kita kuliah dulu. Jadi hanya proses manusiawi saja. Seperti mekanisme pengambilan keputusan dalam rapat-rapat.
A: Ah..masak hadis seperti pengambilan keputusan rapat... Saya rasa itu terlalu menyederhanakan.
B: Memangnya menurut kamu Nabi yang datang mengatakan inilah hadis yang paling sahih? Atau Tuhan yang mengatakan begitu? Memang, untuk memutuskan itu ada kriterianya. Tapi kriteria itu pun kan juga bukan dari Nabi. Disusun oleh para sarjana yang terkait dengan kesepakatan itu. Artinya hanya proses alamiah. Bukan sakral. Bukan dari Nabi, apalagi Tuhan! Di zaman Nabi kitab-kitab hadis itu belum ada. Fiqh pun belum ada. Hadis kan baru ditulis dan dibukukan lebih kurang 200 tahun sesudah Nabi meninggal. Bayangkan 200 tahun, 2 abad. Berapa generasi sesudah Nabi. Makanya sebuah hadis itu banyak mata rantai periwayatannya. Ibaratnya kalau orang tua kita menceritakan kepada kita bahwa dulu nenek moyang kita pernah berpesan begini-begitu. Orang tua kita mendengar pesan itu juga dari orang tuanya (seorang kakek misalnya). Si Kakek juga begitu, dia dengar dari bapaknya. Bapaknya juga begitu, dan seterusnya sambung menyambung sampai ke nenek moyang kita. Nah, apakah ada jaminan bahwa setiap lapis periwayatan itu tidak terjadi pergeseran kalimat atau pesannya sedikit demi sedikit?
A: Bisa saja tidak, karena mungkin saja sebagian sahabat-sahabat Nabi itu ada yang menuliskannya?
B: Kalau hadis tidak. Itu bedanya dengan Alquran. Kalau memang hadis sudah ditulis tentu tidak akan ada perbedaaan hadis. Sudah ada bukti otentiknya. Sudah standar. Makanya setiap hadis itu selalu diawali dengan: Diriwayatkan dari si Anu, melalui si Anu, dan seterusnya sampai sekian lapis baru terakhir dari Rasulullah.
A: Kalau sanadnya tidak putus-putus tidak masalah. Tetap sahih. Hadis sahih itu kan sanadnya tidak boleh ada yang terputus. Kalu ada yang terputus berarti hadis itu tidak sahih.
B: Iya, betul. Sebenarnya kalau bicara soal hadis ini banyak persoalan sebenarnya. Sangat banyak kriteria penentuan hadis sahih tidak sahih itu. Bahkan klasifikasi itu juga banyak. Bahkan sahih itu sendiri juga terbagi beberapa jenis lagi. Artinya kadar kesahihannya itu juga ada tingkatannya. Ada misalnya sahihnya itu mutawatir atau tidak. Mutawatir itu Nabi mengatakan atau melakukan sesuatu disaksikan oleh orang banyak. Misalnya ketika nabi berpidato, dalam mesjid, di lapangan dan sebagainya. Semua mendengarkan apa yang dikatakan Nabi. Tipis kemungkinan yang satu mengatakan begini yang lain mengatakan begitu. Karena semuanya sama-sama menyaksikan. Hadis seperti inilah yang paling tinggi tingkat kesahihannya. Kalau hanya dari sanadnya, masih terbuka peluang untuk berbeda tingkat validitas hadisnya, walaupun sandanya tidak putus. Makanya terhadap suatu masalah yang sama terdapat 2 hadis yang isinya berbeda. Misalnya tentang gambar dinding. Ada 2 hadis yang berbeda. Hadis yang satu mengatakan haram sedangkan hadis yang lain mengatakan boleh. Pada hal kedua-duanya secara sanad sama-sama sahih. Akhirnya mana yang akan dipakai. Tapi begitulah. Sayangnya Nabi sudah meninggal.
Ayo kebangkan kecermatan dan sportivitas anda dalam berfikir :)
kok bisa,,
Gan
dibaca perdebatan antara si A dan si B gan.. hehehe ;)
itu hanya perbedaan keyakinan.
Kalo tidak mau menggunakan kesempatan untuk berdoa berjamaah kepada Tuhan, yah gak papa.. Niat berdoa gak perlu pakek dasar2 yang njelimetlah.. Kalo berdoa hanya sebatas kewajiban, ya susah..