News : Advokat Kembali Persoalkan Perppu MK

0 komentar
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK kembali dipersoalkan warga negara. Kini, sejumlah advokat yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi secara resmi telah mendaftarkan uji materi Perppu yang baru saja diteken Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober di Yogyakarta. 

Tercatat sebagai pemohon berjumlah 18 advokat di antaranya Andi M Asrun, Samsul Huda, Robikin Emhas, Sugeng Teguh Santoso, Iwan Gunawan, Rudi Alfonso, Unoto, M Jodi Santoso, Nurul Anifah, Syarif Hidayatullah dan Dorel Almir. Mereka menilai Perppu MK tersebut cacat hukum formal dan materil, sehingga harus dinyatakan batal karena bertentangan dengan UUD 1945. 
News : Advokat Kembali Persoalkan Perppu MK

“Dari segi formal atau prosedur pembentukan Perppu telah melanggar prosedur pembentukan Perppu karena DPR tidak dalam keadaan reses dan tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa,” kata Ketua Forum Pengacara Konstitusi, Andi M Asrun usai mendaftarkan uji materi Perppu di Gedung MK Jakarta, Rabu (23/10).   

Dia tegaskan dari segi substansi (materil), Perppu MK itu tidak dikategorikan sesuatu yang mendesak untuk mengatur proses seleksi hakim konstitusi karena masih bisa dilakukan solusi revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. Akan tetapi,sesuatu yang bersifat untuk perbaikan ke masa depan (ius constituendum). Seperti mengatur persyaratan dan proses seleksi hakim konstitusi dengan mengintroduksi Panel Ahli oleh KY untuk menseleksi calon hakim konstitusi yang diusulkan MA, Presiden, dan DPR. 

Menurut Asrun unsur “kegentingan yang memaksa” sebenarnya telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VIII/2009 tertanggal 8 Februari 2010. Misalnya, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan hukum secara cepat ketika peraturannya belum ada atau kalaupun ada tidak memadai.    

“Substansi Perppu ini tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan mendesak dalam rangka menyelamatkan MK hanya karena penangkapan Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar,” tegas Asrun.

Daya berlaku Perppu MK ini dinilai tidak jelas karena berimplikasi pada delapan hakim konstitusi, khususnya 2 hakim konstitusi yang berasal dari partai politik. Ataukah substansi Perppu ini mengatur persoalan ke depan? “Dengan 8 hakim konstitusi, ternyata MK tetap berjalan. Lagipula, ini bukan pertama kali, pada masa Jimly mengundurkan diri bukan suatu luar biasa. Jadi kita pertanyakan apa urgensinya?”

Pihaknya berharap MK segera menyidangkan permohonan uji materi Perppu ini dan menyatakan batal Perppu itu. Sebab, saat bersamaan DPR juga memiliki waktu 30 hari. “MK berlomba-lomba dengan DPR. Kami juga berencana menghadirikan ahli, seperti Prof Saldi Isra, Natabaya, dan Laica Marzuki, mereka sudah menyatakan komitmennya.”

Sebelumnya, advokat Habiburokhman mendaftarkan permohonan pengujian Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang MK. Dia menilai terbitnya Perppu itu tidak tepat karena tidak dalam keadaan genting dan memaksa terkait MK, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 (inkonstitusional). Persoalan tertangkapnya Akil Mochtar sama sekali bukan persoalan genting dan memaksa terkait MK, tetapi persoalan genting dan memaksa terkait pemberantasan korupsi.

Kamis (17/10) pekan lalu, Presiden SBY mengeluarkan Perppu MK. Keluarnya Perppu ini sebagai respon atas ditangkapnya Ketua MK Nonaktif Akil Mochtar oleh KPK pada 2 Oktober malam di rumah dinasnya terkait kasus dugaan suap Pemilukada Gunung Mas Kalimantan Tengah dan Lebak Banten.

Ada tiga substansi isi Perppu tersebut. Pertama, menambah syarat untuk menjadi hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai hakim konstitusi. Kedua, Perppu memperjelas mekanisme pengajuan dan proses seleksi hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif.

Sebelum ditetapkan presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk KY. Panel ahli beranggotakan 7 orang yang masing-masing diusulkan oleh unsur MA, DPR, Presiden, dan 4 orang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.

Ketiga, perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen dan kesekretariatan MKHK berkedudukan di KY. MKHK dibentuk bersama oleh KY dan MK dengan keanggotaan lima orang dari unsur mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, dua orang akademisi, dan tokoh masyarakat.(www.hukumonline.com)

Leave a Reply