Belakangan ini warga yang tersebar di wilayah DKI Jakarta (Tanah Kusir, Cempaka Putih, Mangga Besar, dan Kedoya Utara) merasa resah. Ini disebabkan adanya bangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) yang tiba-tiba menyeruduk wilayah pemukiman yang telah mereka tempati puluhan tahun. Selain menyalahi tata ruang, kehadiran SPBU dianggap mengancam kehidupan warga.
Dari aspek keselamatan, keberadaan SPBU di dekat pemukiman dianggap berpotensi membahayakan keselamatan warga sekitar karena ancaman bahaya ledakan yang kerap terjadi. Hasil riset yang dilakukan warga menunjukkan selama kurun waktu empat tahun telah terjadi delapan kali peristiwa ledakan atau kebakaran di SPBU yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Koordinator Rujak Center for Urban Studies, Dian Tri Irawati, menambahkan dalam setahun terakhir terjadi delapan kejadian ledakan atau kebakaran SPBU di Tanah Air. “Tidak tertutup kemungkinan potensi kecelakaan serupa terjadi juga pada SPBU yang berada di tengah permukiman warga,” ujarnya.
Dari aspek kesehatan, pembangunan dan pengoperasian SPBU dianggap dapat menimbulkan pencemaran air dan udara yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan kesehatan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, orang yang tinggal dekat lokasi SPBU dapat terkena penyakit leukemia akut karena menghirup uap yang dihasilkan oleh bensin.
“Khusus untuk pencemaran lingkungan, bocornya pipa bensin menimbulkan pencemaran sumber air tanah,” tambah Dian.
Hampir di semua kasus, warga melakukan gugatan terhadap instansi penerbit Izin Menerbitkan Bangunan (IMB) melalui PTUN. Selama proses persidangan, hanya pembangunan SPBU Shell di Tanah Kusir yang bisa terhenti hingga terbitnya putusan yang memenangkan warga. Sedangkan pembangunan SPBU Total Oil Indonesia di Kedoya Utara dan SPBU Pertamina di Cempaka Putih dapat terus berjalan dan beroperasi selama proses persidangan berlangsung.
Dian mencatat dari beberapa kasus yang ada terlihat beberapa pola. Pertama, tidak adanya pelibatan warga dalam perencanaan SPBU. Dalam hal ini, penolakan warga di awal rencana pembangunan SPBU tidak diindahkan walaupun ketentuan izin gangguan (UU Gangguan Tahun 1926 dan Permendagri No 27 Tahun 2009) secara jelas mengatur bahwa harus ada izin gangguan yang ditandatangani oleh tetangga.
Kedua, ketidakjelasan informasi. Menurutnya, hal ini terkait dengan terbitnya informasi yang menyesatkan mengenai penerbitan IMB dan juga izin operasional SPBU. “Warga dipusingkan dengan ketidakjelasan informasi ketika mengunjungi dinas-dinas terkait untuk meminta kejelasan yang berkaitan dengan proses penerbitan izin,” tutur Dian.
Ketiga, komunikasi yang bersifat satu arah antara warga dengan pemerintah. Dalam proses advokasi yang dilakukan oleh warga, pertemuan yang terjadi selalu bersifat sosialisasi (menegaskan kebijakan publik yang telah diambil) tanpa mau berdialog lagi dengan warga.
Keempat, keberpihakan pemerintah kepada investor/pihak swasta. Terbitnya Pergub No 108 Tahun 2007 memudahkan penerbitan IMB dan izin operasional SPBU tanpa mengindahkan ketentuan tentang izin gangguan yang sudah diatur dalam UU Gangguan dan Permendagri No 27 Tahun 2009, yang sebelumnya juga diatur dalam Pergub No 95 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha dan Gas Bumi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Sementara itu, kuasa hukum warga Tanah Kusir, Mulyadi M. Phillian, mengatakan aturan antara pembangunan SPBU dengan dorongan investasi sebenarnya tidak bertentangan satu sama lain. Tapi pada tingkat implementasinya justru terjadi bentrokan. Menurutnya, pengelola SPBU seharusnya memperhatikan mengenai izin gangguan, dalam arti warga harus menyetujui terlebih dahulu rencana pembangunan SPBU.
Sampai ketemu di Posting berikutnya